Jual Beli Kayu Bertuah NOGOSARI asal Makam Raja raja CIRBON, Persembahan team MAKRIFAT BUSINESS
Sentral Galeri Kerajinan Seni Acecories Souvenir Handicraft Manik Manik Asli
Khas Sajian Produk Unggulan Desa TUTUL Balung Jember Jawa Timur, ini kami
jual dengan harga :
Rp. NEGO,- /KG/BATANGAN
(harga belum termasuk
ongkos kirim)
Saat ini untuk koleksi dan stock kami khusus dari makam raja raja CIRBON atau yang dikenal dengan makam SUNAN GUNUNG JATI sangat terbatas, adapun yang kami miliki masih sebatas ranting saja. Mengingat jumlah kayu nogosari dimakan Cirbon sudah sangat terbatas, maka yang dijual oleh juru kunci makam hanya ranting nya saja. Walau sekedar ranting untuk memperolehnya sangat sulit dan harus pesan atau indent terlebih dahulu dalam waktu tertentu atau menunggu saat perampingan ranting yang mengganggu pemandangan serta keselamatan pejiarah dari terpaan angin dan hujan.
Berikut ini untuk memperkuat cerita mistik kayu bertuah nogosari asal makam Cirbon, kami kutip sejarah kesultanan Cirbon dari website terpercaya yaitu http://id.wikipedia.org.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan
Islam ternama di Jawa
Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi,
dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara
pulau Jawa yang
merupakan perbatasan antara Jawa Tengah
dan Jawa Barat,
membuatnya menjadi pelabuhan dan
sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu
kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan
Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Daftar isi
|
Kesultanan Pakungwati Cirebon
|
|
Bendera
|
|
Ibu kota
|
|
Bahasa
|
|
Monarki absolut
|
|
Panembahan, Susuhunan (Sunan), Sultan
|
|
- 1445-1479
|
Pangeran Cakrabuana
|
Sejarah
|
|
- Pangeran Walangsungsang naik tahta dengan gelar
"Cakrabuana"
|
1445
|
- Perpecahan Kesultanan Cirebon menjadi Kasepuhan dan Kanoman
|
1677
|
[sunting]
Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda
awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng
Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang
ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran),
karena
di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku
bangsa,
, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk
bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah
sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang
kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari
istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah
berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon)
yang kemudian menjadi Cirebon.[1]
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman,
Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan
penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di
kepulauan Nusantara maupun
dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal
pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Artikel ini bagian dari seri
|
Lihat
pula:
|
Kutai (abad ke-4)
|
Tarumanagara (358–669)
|
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11)
|
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
|
Kerajaan Medang (752–1045)
|
Kerajaan Sunda (932–1579)
|
Kediri (1045–1221)
|
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
|
Singhasari (1222–1292)
|
Majapahit (1293–1500)
|
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
|
Kesultanan
Samudera Pasai (1267-1521)
|
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
|
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
|
Kesultanan Malaka (1400–1511)
|
Kesultanan Cirebon (1445 - 1677)
|
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
|
Kesultanan Demak (1475–1548)
|
Kesultanan Aceh (1496–1903)
|
Kesultanan Banten (1527–1813)
|
Kesultanan Mataram (1588—1681)
|
Kesultanan
Siak (1723-1945)
|
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
|
Portugis (1512–1850)
|
VOC (1602-1800)
|
Belanda (1800–1942)
|
Kemunculan Indonesia
|
Kebangkitan
Nasional (1899-1942)
|
Pendudukan
Jepang (1942–1945)
|
Revolusi
nasional (1945–1950)
|
Indonesia Merdeka
|
Orde Lama (1950–1959)
|
Demokrasi
Terpimpin (1959–1966)
|
Orde Baru (1966–1998)
|
Era
Reformasi (1998–sekarang)
|
Perkembangan awal
[sunting]
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati)
adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka
hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada
tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak
saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru
di desa Caruban.
[sunting]
Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat
baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya,
diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas
Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng
Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki
Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar
Pangeran Cakrabuana.
[sunting]
Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
[sunting]
Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga
Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri
Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja
dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu
Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai
putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk
agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad
16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur
orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu
Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai
Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal,
Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan
istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang
dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau
Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji
kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon
pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama
Islam kepada penduduk Cirebon.
[sunting]
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai
Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568)
yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan
gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif
Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan
Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah
oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian
diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta
penyebar agama Islam di Jawa Barat sepertiMajalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[2]
[sunting]
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat
keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan
dijabat oleh Fatahillah atau
Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara
resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan
Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570,
dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan
makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
[sunting]
Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi
raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Mas,
putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas
kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih
79 tahun.
[sunting]
Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan
Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau
Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau
Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian
menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang
kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu
II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua
kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten
merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I
adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa
Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan
Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran.
Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan
ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari
Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan
makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber
di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar
dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
[sunting]
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa.
Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama
ayahnya tidak berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia
pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari
Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang Pagarage), beliau mengiyakan
permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki hubungan
diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yang disupport
oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan.
Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari
bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran
yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan
& Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran
Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan
kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak
beraliansi lagi dengan Mataram.
[sunting]
Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada
masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan
Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi
keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing
berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa
Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
·
Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh
Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
·
Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil
Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
·
Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran
Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua
Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya
dilantik menjadi Sultan Cirebon
di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi
sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau
keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron),
yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di
Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan
tradisi keraton, di mana seorang
sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari
permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa,
maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
[sunting]
Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada
masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena
salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri
membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda
dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat
keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang
mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807
dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar
sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah
satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan
Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang
lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
[sunting]
Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam
ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari
keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya
terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan
Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente
Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk
sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942,
Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam
Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing
dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.
[sunting]
Perkembangan terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon
tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam.
Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai
pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat
masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling
penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan
Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang
terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton
Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad
Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan
ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.
0 Tanggapan:
Posting Komentar
Silahkan komentar disini jika mau oder, saran, kritik membangun, komplain, sumbang sich pemikiran dll, tapi mohon maaf pihak management Makrifat Business melakukan moderasi setiap komentar yang masuk